setelah anda melihat blog saya ini, menurut anda saya bersifat

Rabu, 15 April 2009

pernikahan dini dan siri syeikh puji

Latihan Tugas Mandiri III MPK Agama Islam
Pokok Bahasan : Dimensi Sosial Keagamaan
“Tradisi Pernikahan Dini dan Pernikahan Siri di Lingkungan Pesantren”
Oleh Novika Ginanto, 0806455383, Teknik Elektro, Kelas A.601

Judul : “Nikah Dini”
Nama Pengarang : Abdullah
Data Publikasi : http://www.syahadat.com/keluaga-islami/pernikahan/
211-nikah-dini. Diunduh pada 14 April 2009 pukul
17.00 WIB.
Judul : “ Nikah Siri”
Nama Pengarang : Abdullah
Data Publikasi : http://www.syahadat.com/keluarga-islami/pernikahan/
630-nikah-siri?fronstyle=f-larger. Diunduh pada 14
April 2009 pukul 17.03 WIB.

Lutfiana Ulfa, seorang perempuan berusia 12 tahun menikah dengan H. Pujiono Cahyo Widianto alias Syekh Puji. Syekh Puji adalah seorang bos PT. Sinar Lendoh Terang dan juga pemimpin Pondok Pesantren Miftahul Jannah. Syeikh Puji mengaku sudah mendengar berbagai kecaman yang dilontarkan para aktivis anak dan perempuan bahkan majelis ulama Indonesia ( MUI ) tentang pernikahan siri dengan istri keduanya yaitu Lutfiana Ulfa yang berusia 12 tahun dan rencana pernikahannya dengan dua anak di bawah umur. Menurut Syekh Puji, yang dia lakukan bukan pelanggaran. Alasanya, dia mendapat izin dari istri pertama serta mendapat restu dan keikhlasan orang tua calon istri. Syeikh Puji merasa tak melanggar dan tak merugikan orang lain, dan tidak terlalu mempedulikan pernyataan yang dilontarkan orang luar, sehingga banyak media mengeksposnya dan munculah protes dari segala penjuru. Setelah ada campur tangan dari KPA dan KUA, pernikahan itu pun batal diresmikan oleh negara, lalu Lutfianah Ulfa pun dikembalikan ke orang tuanya. Bagaimana pandangan Islam dan negara terhadap nikah siri yang dilakukan oleh Syeikh Puji?
Menurut UU Pernikahan Pasal 1 berbunyi, “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” Dengan kata lain, pernikahan merupakan sebuah media yang akan mempersatukan dua insan dalam sebuah rumah tangga yang diakui secara resmi dalam hukum keagamaan dan hukum kenegaraan, namun dalam masyarakat telah timbul konsep bahwa pernikahan merupakan sebuah ritual sakral bagi kedua insan yang saling mencintai. Meskipun demikian, banyak pula pihak-pihak yang saat ini berusaha untuk memanfaatkan ritual tersebut hanya untuk memperoleh keuntungan, baik berupa materi maupun sekedar untuk mendapatkan kepuasaan seks saja, atau juga karena alasan-alasan lain. Berbagai permasalahan pun akhirnya timbul, seperti kasus Syeikh Puji di atas yang melakukan pernikahan siri dan pernikahan dini. Penyimpangan tersebut sangat mengganggu kerukunan antar umat beragama dan pemerintah karena kasus Syeikh Puji secara tidak langsung memperlihatkan betapa lemahnya agama Islam di Indonesia dan betapa tidak bersatunya agama Islam. Disinilah peran umat Islam yang lain untuk membantu. Banyaknya teguran dan protes dilakukan untuk mempersatukan dan menguatkan agama Islam karena kasus tersebut, sehingga Syeikh Puji pun menyerah dan kerukunan antar umat beragama pun kembali. Namun, tidak sedikit pula orang yang tidak mendukung hal tersebut, mereka biasanya beralasan bahwa tidak ada aturan agama yang melarang hal itu, bahkan mungkin sudah ada yurisprudensinya, ada juga yang menyatakan bahwa hukum Allah posisinya di atas hukum manusia, jadi lebih patuhlah pada hukum agama, dan ada juga yang berpendapat bahwa pada zaman dulu buyut kita juga rata-rata menikah pada usia di bawah umur dan mereka baik-baik saja. Padahal kalau ditinjau, Ulfa itu masih dibawah umur, masih banyak kesempatan yang harus dia dapatkan dan lakukan seperti menggapai cita-cita dan pendidikannya. Bukankah seharusnya jika mereka saling mencintai waktu bukanlah hambatan bagi mereka untuk menunda pernikahan dini dan siri tersebut. Oleh karena itu banyak sekali pihak-pihak yang menentang tindakan tersebut, tidak hanya organisasi Islam, organisasi pemerintah dan organisasi masyarakat lainnya pun menyatakan tindakan tersebut salah dan telah menyalahi hukum kenegaraan.
Nikah siri adalah salah satu bentuk permasalahan yang saat ini masih banyak terjadi di negara Indonesia, khususnya kalangan pesantren. Memang, masalah nikah siri ini sangat sulit untuk dipantau oleh pihak yang berwenang, karena mereka menikah tanpa sepengatahuan pihak berwenang tersebut. Biasanya, nikah siri dilakukan hanya dihadapan seorang ustadz atau tokoh masyarakat saja sebagai penghulu, atau dilakukan berdasarkan adat-istiadat saja. Pernikahan ini kemudian tidak dilaporkan kepada pihak yang berwenang, yaitu KUA bagi yang muslim atau kantor catatan sipil setempat bagi yang nonmuslim untuk dicatat. Memang dalam hukum agama Islam pernikah siri bukanlah satu hal yang dilarang, dengan syarat pernikahan tersebut telah memenuhi rukun dan syarat syah-nya nikah. Namun, pernikah siri tetap saja tidak akan dianggap sah di mata hukum kenegaraan Indonesia, hal ini berdasarkan Undang-Undang Pernikahan pasal 2 ayat 2 yang berbunyi, “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Berdasarkan UU tersebut, maka pernikahan yang tidak dicatatkan ke Kantor Urusan Agama (KUA) atau Kantor Catatan Sipil setempat tidak akan diakui oleh negara. Hal tersebut bertujuan untuk memperkecil resiko banyaknya kerugian atau kesewenang-wenangan yang akan dialami oleh seorang wanita (isteri) dan anak-anak dari hasil nikah siri, baik kerugian dalam aspek sosial maupun hukum. Menurut pasal 42 menyatakan bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah dan pasal 43 ayat 1 menyatakan bahwa Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya, sehingga banyak kerugian yang akan diterima si anak, contohnya dalam pengurusan akte kelahiran sehingga status anak pun belum jelas, dan juga pengurusan harta warisan. Begitu banyak dan begitu besar kerugian yang harus mereka terima, sementara dari pihak suami hampir tidak akan mengalami kerugian apapun. Dalam al-Qur’an surat al-Baqarah dinyatakan perintah untuk menulis atau mencatat beberapa muamalah. Begini ayatnya:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ وَلْيَكْتُبْ بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ وَلَا يَأْبَ كَاتِبٌ أَنْ يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللَّهُ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلَا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئًا فَإِنْ كَانَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْ لَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الْأُخْرَى وَلَا يَأْبَ الشُّهَدَاءُ إِذَا مَا دُعُوا وَلَا تَسْأَمُوا أَنْ تَكْتُبُوهُ صَغِيرًا أَوْ كَبِيرًا إِلَى أَجَلِهِ ذَلِكُمْ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ وَأَقْوَمُ لِلشَّهَادَةِ وَأَدْنَى أَلَّا تَرْتَابُوا إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَلَّا تَكْتُبُوهَا وَأَشْهِدُوا إِذَا تَبَايَعْتُمْ وَلَا يُضَارَّ كَاتِبٌ وَلَا شَهِيدٌ وَإِنْ تَفْعَلُوا فَإِنَّهُ فُسُوقٌ بِكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
Pernikahan dini adalah ritual yang sudah sangat populer di kalangan masyarakat, khusunya pesantren. Mendengar ungkapan pernikahan dini, berbagai tanggapan yang beragam pun bermunculan. Ada yang mengungkapkan rasa salut mereka, ada yang merinding, dan tidak sedikit pula yang mencibir. Kontroversi dan pro, serta kontra mengenai nikah dini di kalangan pesantren sudah bukan hal yang aneh lagi. Islam pun akhirnya tidak jarang menjadi tameng atas polemik tersebut. Pernikahan Rasulullah dengan Aisyah menjadi menu utama untuk berkelit dan melimpahkan kesalahan. Pada dasarnya, sampai saat ini para ulama pun belum menemukan batasan minimal usia secara mutlak bagi seseorang untuk melakukan pernikahan. Di dalam agama Islam tidak disebutkan bahwa seseorang baru boleh menikah setelah berusia sekian. Ketidak jelasan keterangan mengenai batasan usia minimal seseorang untuk menikah inilah yang kemudian menghasilkan pendapat yang berbeda-beda. Adapun banyaknya dalil, baik dari hadits Rasulullah maupun dari Al Quran adalah anjuran untuk mengawalkan nikah bagi yang sudah mampu. Dalam kasus Syeikh Puji, hukumnya boleh (mubah) secara syar’i dan sah seorang laki-laki dewasa menikahi anak perempuan yang masih kecil (belum haid). Dalil kebolehannya adalah al-Qur`an surat ath-Thalaq [65] ayat 4 dan As-Sunnah, namun dalam hukum kenegaraan kasus Syeikh Puji tersebut merupakan pelanggaran. Sebagai seorang yang beriman hendaknya harus mematuhi hukum di negaranya.
Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa pada dasarnya syariat Islam tidak memberikan batasan usia tertentu untuk menikah. Islam hanya menganjurkan bagi mereka yang sudah mampu. Orang yang akan menikah hendaknya benar-benar yang sudah mampu, baik secara jasmani, rohani, dan ekonomi. Tidak ada larangan maupun anjuran di dalam hukum Islam mengenai nikah dini ini. Hanya saja, Islam memprioritaskan masalah pemahaman terhadap hukum agama karena di sana terdapat jalan untuk menuju keluarga yang sakinah, mawaddah, warrohmah. Tentunya, dengan pemahaman agama yang mantap akan melapangkan hati ketika harus mengarungi bahtera rumah tangga. Islam sangat menganjurkan untuk menikah dengan memprioritaskan kualitas agama calonnya karena dengan keimanan inilah sebuah rumah tangga akan berlayar menuju surga Allah dengan saling memotivasi dalam keimanan dan ketakwaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar